Copyright © 2015 Musyafa Nisrina
Muthi
“Ketika kau dipusingkan dengan
pilihan yang tidak
akan datang dua kali seumur
hidupmu.”
Starbucks, July 20th.
“Would
you be mine?”
Dug. Ini dia, kan? Bukan─maksudku,
laki-laki seperti dia mungkin akan berpikir
sepuluh kali untuk menyatakan kata cinta
untukku. Tidak berniat menolak, namun hati kecilku hanya disuguhkan oleh
kata-kata yang membuatku ambigu.
Terima
dia atau kau akan kehilangan dirinya sebagai sahabat lelakimu.
Kalau kondisinya sudah seperti ini,
aku harus apa? Membicarakannya dengan baik-baik belum tentu bisa dikatagorikan
sebagai penolakan secara halus. Menerimanya dengan berkata, ‘ya’ –pun akan
terasa sulit. Masalahnya di sini yang terancam itu, persahabatan kami.
“Caitlin?” panggilnya lagi cukup
membuatku tersadar dan kembali ke dunia nyata. Dengan gerakan refleks aku
mengangkat kepalaku dan menatapnya polos dengan ekspresi yang bahkan kuyakini
akan membuatnya terbahak.
“Ya?” sahutku setelahnya. Mungkin
tidak ingin menghancurkan suasana, dia berusaha menahan tawanya sekarang. Lihat
bagaimana keadaan berputar berbalik. Mungkin sebelum ini, tertawa mengejek
bukanlah hal yang memalukan untuk kami.
Justin─pria yang
kumaksud─kembali menatapku
teduh sampai akhirnya aku menyadari bahwa dia melakukan kode mata denganku,
sehingga aku kembali duduk dengan tegap, kemudian menyandar ke bangku sofa kafe
yang kami kunjungi. Satu minggu yang lalu, dengan tiba-tiba Justin melempar
gumpalan kertas yang ternyata surat ke balkon kamarku, menyatakan bahwa dia
ingin mengajakku duduk-duduk santai di kafe, mengingat pekan ulangan yang baru
saja berakhir. Kalau ini yang dinamakan dengan ‘duduk-duduk santai’ aku
bersumpah tidak akan pernah mau datang.
“Bagaimana?” tanyanya lagi. Mungkin
sekarang kulitku kembali memucat lantaran teringat dengan tawarannya beberapa
menit yang lalu. Sungguh, kalau yang duduk di depanku sekarang adalah adik
kelas dengan tampang tengil, atau pun laki-laki yang tidak aku suka, aku
benar-benar akan langsung berkata ‘tidak’ dan tanpa pikir panjang
meninggalkannya sendiri di sini.
Biasanya, kalau memang itu terjadi,
lalu laki-laki yang ternyata tidak terima dengan penolakanku dengan segera
mendatangiku ke rumah─memohon kepadaku
untuk menerimanya sebagai kekasihku─atau mungkin
menerorku, pasti Justin yang akan langsung turun tangan. Namun kalau kenyataan
berbalik, kepada siapa aku akan mengadu? Adikku yang sama tengilnya dengan
adik-adik kelasku? Yang ada aku malah akan diseret ke rumah Justin untuk
menemuinya─kalau aku
benar-benar menolaknya.
Tapi bukan berarti juga aku
menyukainya. Aku sayang─namun, bukan
sayang yang seperti itu yang kumaksud. Aku menyayanginya sebagai sahabat.
Bahkan tidak pernah terpikir olehku bahwa dia akan senekat ini memintaku
menjadi kekasihnya.
“Aku… tidak tahu,” gumamku pelan. Aku
melirik Justin sekilas dan menemukan raut wajahnya yang memudarkan raut
keceriaan dan ketegangan yang ditunjukkannya tadi.
“Ya, baiklah, aku mengerti. Tidak
perlu dijawab, anggap saja angin lalu.”
Demi neptunus, aku tidak bermaksud
menyakiti hatinya. Aku hanya… bimbang. “Bagaimana kalau memberikan waktu
untukku?”
Justin terlihat mengangkat sebelah
alis tebalnya, sedang menimbang-nimbang kurasa. “Ya─maksudku tidak.
Tidak perlu dijawab. Aku mengerti bahwa kau tidak mungkin mempertaruhkan
persahabatan kita, anggap saja angin la─”
“Lantas melihatmu menjauh karena
perasaan tidak enak hati? Tidak. Aku tidak akan pernah menganggap ucapanmu
sebagai angin lalu. Kau tahu kalau aku… menyayangimu.”
“Aku tidak akan menjauh.”
“Tidak jamin.”
Justin mendengus frustasi sambil
mengacak rambut emasnya yang selalu dispike
dengan tambahan gel itu. “Baik, waktu. Aku memberimu waktu untuk memikirkan
semuanya. Dan selama proses itu berlangsung, jangan mencoba untuk menghidariku.”
“Tidak janji.”
“Cait, aku tidak bercanda,” geramnya.
Aku terkekeh singkat lalu meminum
greentea shake-ku yang sudah mulai
mencair. “Aku juga tidak, Justin. Apa tampangku seperti sedang bercanda
sekarang?” tanyaku sendiri sembari memasang raut wajah serius.
Justin kembali mendesah frustasi
dengan tangan yang terkepal gemas. “Kau tahu aku membenci itu. Jangan
coba-coba.”
Tawaku pun akhirnya pecah. Benar, aku
hanya bercanda tadi. Mana mungkin aku akan tahan mendiami dan menghindarinya,
sedangkan aku sudah terbiasa ngablak berdua
bersamanya di mana saja. Cukup mustahil untuk kulakukan. “Ya. Tidak akan.”
***
Ucapanku tiga hari yang lalu ternyata
tidak bisa kubuktikan. Nyatanya yang kulakukan sekarang adalah menghindarinya.
Menghindari kontak mata dan juga kontak fisik secara langsung. Bahkan untuk
sekedar berjalan pada satu koridor sekolah yang sama saja aku tidak berani─oh lebih
parahnya, menatapnya balik saat ia menatapku saja aku lebih memilih memalingkan
wajahku. Benar-benar pembual.
Berani sumpah, kalau kalian yang
berada pada posisiku saat ini, kuyakini kalian akan melakukan hal yang sama.
Bertemu dengannya justru membuatku semakin ambigu.
Sudah dua hari ini aku lebih memilih
berangkat ke sekolah diantar supir atau mungkin bersama Ayah, dan menolak
bergabung bersama Justin atau pun Christian, adikku. Berkumpul bersama
teman-teman perempuan sepermainanku dan menghindar saat diajak bicara olehnya.
Pulang pun aku akan langsung keluar kelas dan menelpon supir untuk segera
menjemput, lalu setelahnya berpura-pura sibuk dengan membaur ke klub jurnalis
sekolah untuk mengisi waktu selagi menunggu dijemput, dan ya, tentu saja untuk
menghindari dia.
“Kalian sedang kenapa?” tanya salah
seorang sahabat perempuanku telak. Shanoon mengangkat alisnya tinggi lantas
melipat kedua tangganya di depan dada.
“Ya. Aku juga melihat kau seakan-akan
menghindarinya dua hari ini. Kalian tidak sedang bertengkar, kan?” tuding
Chandler. Memangnya sekentara itu, ya, aku menghindarinya? Mampus saja kalau
ternyata Justin juga mengerti tingkahku sekarang.
“Kalian yang dimaksud itu─”
“Kau dan Justin,” lanjut keempat
sahabatku sekaligus.
“Kudengar Justin sempat menyatakan
cinta beberapa hari yang lalu kepadamu. Benar begitu?” Astaga. Secepat inikah
beritanya menyebar?
“Aku masih ingat, terakhir kali kalian
bertengkar, kau merajuk seharian penuh dan mendatangi kami saat jam pulang
sekolah dengan mata berair karena tidak berhasil mendapatkan maaf Justin dalam
kurun waktu dua puluh empat jam,” celetuk Chandler lagi. Sial, sekarang dia
kembali mengungkit aibku.
“Lagipula, siapa yang ingin
memaafkanmu dalam waktu yang sesingkat itu? Kau tahu, kan, kau itu sangat
menyebalkan kalau sudah adu mulut,” cecar Sheerin dengan mata tak teralihkan
dari kukunya. Dia sedang mengecat biru kukunya.
“Aku
berani bertaruh bahwa Justin sesungguhnya tidak tahan bersahabat denganmu.
Memberimu sedikit pelajaran dengan mengacuhkanmu bukannya membuat emosimu
mereda, justru malah makin memuncakkan emosimu.” Stop. Kate yang paling pendiam
saja ikut berkomentar sedemikian kejamnya.
“Sudah?”
ucap suara bariton yang membuat kami memalingkan perhatian kami sepenuhnya.
Justin terlihat bersandar di tembok sebelah meja kami dengan kaki terangkat
satu.
Aku
langsung menempelkan wajahku di meja dengan tampang melas, berusaha bersembunyi
dan menutup kemungkinan bertatap wajah dengan pria di hadapanku sekarang.
Tujuh
detik berikutnya hanya terdengar suara siswa-siswi lain yang sedang berhilir
mudik mencari meja dan tawa yang lainnya dengan teman seperkumpulan mereka,
sampai akhirnya aku merasakan tanganku ditarik tangan hangat dan memaksaku
untuk mengangkat wajahku. Sial, justru sekarang pergelangan tanganku sedang
digenggam olehnya.
“Ikut
aku,” ucapnya lagi memerintah.
Aku
dengan pasrahnya berjalan tersaruk-saruk di belakangnya, berharap keempat
sahabatku menahanku. Namun ternyata salah besar, begitu aku melihat ke belakang
yang terlihat justru mereka yang melambai senang ke arahku. Akhirnya dengan
benar-benar pasrah, aku kembali berjalan mengikuti Justin. Dia membawaku ke parkiran
kemudian mengangkat pinggangku untuk didudukkan di kap mobil.
Aku
mendengus menyadari diriku yang sekarang sejajar dengannya. Maklum, aku bahkan
tidak lebih tinggi dari bahunya.
“Pembual,”
gertaknya tajam membuatku tersentak.
Air
mataku serasa ingin meluncur bebas saat ini juga. “Justin─”
“Pengecut.”
Sekali lagi, aku bergetar hebat. “Kalau memang tidak bisa, tidak usah memaksa
dengan membuat perjanjian lalu setelahnya mengingkari janjimu sendiri. Aku
tidak suka. Aku tidak suka cara yang seperti ini.”
“Justin─”
“Jangan
menyela, aku belum selesai.” Justin terlihat berapi-api. Sungguh, bahkan saat
aku bertengkar hebat dengannya saja dia tidak pernah terlihat semengerikan ini.
Ini sangat di luar kendali. “Sudah kukatakan untuk tidak menghindar. Kenapa masih
menghindar? Sudah tidak paham bahasa manusia?” lanjutnya emosi.
Aku
semakin menundukkan kepalaku dan sedetik setelahnya merasakan mataku
benar-benar panas lantas mengeluarkan bulir yang sedari tadi berusaha kutahan.
“Kau membuatku takut,” ucapku benar-benar takut.
Justin
meninju kap mobilnya tepat di sebelah aku duduk, membuatku sedikit terlonjak
kaget. “Persetan. Kau bahkan mengingkari janji yang kau buat sendiri.”
Aku
menatapnya sedih dengan air mata yang kembali mengalir. Mata coklat madunya
tidak lagi membuatku tenang dan merasa nyaman, namun sebaliknya, membuatku
takut dan ingin segera pergi menjauh darinya. “Aku tidak bermaksud,” ucapku
terisak. Aku tidak tahu kalau akan sesakit ini ketika digertaknya.
“Jangan
menangis. Aku benci melihatmu menangis.”
“Maafkan
aku. Sungguh, aku benar-benar tidak bermaksud,” lirihku sembari berusaha meraih
tangannya. Di luar perkiraan, dia justru menyentak tanganku kasar seolah tidak
peduli dengan emosiku sekarang.
“Aku
tidak pernah takut dengan penolakan, kalau itu yang kau pikirkan. Aku bahkan
tidak takut reputasiku hancur kalau-kalau tersebar berita seorang Justin Bieber ditolak oleh sahabat sendiri. Aku tidak
takut. Justru aku merasa terhormat kalau memang kau menolakku karena takut
persahabatan ini hancur.”
Tanganku
bergerak mengelap air mata yang masih belum mau berhenti menetes. “Aku tahu aku
salah. Aku memang pembual, pengecut. Mengibarkan bendera putih sebelum
pertempuran dimulai. Menyakitimu dengan menghindar, mengira semuanya justru
akan pulih dan kembali seperti biasa. Namun semua yang kulakukan memang selalu
membawa petaka. Aku tidak benar-benar bisa memahami diriku sendiri. Lebih baik
aku menjauh.”
Lututku
rasanya sangat lemah ketika aku kembali memijakkan kakiku di aspal. Aku terdiam
sebentar lantas menghembuskan napas dan bersiap melangkah maju meninggalkan
Justin.
Tahan aku, tahan.
Langkahku
kian menjauh dan menyadari bahwa Justin hanya menatapku dalam diam, tidak
berniat menahanku dan menarikku ke dalam pelukannya yang hangat.
***
Bantal,
selimut, secangkir cokelat panas dan lagu sendu yang menemaniku di atas ranjang
sekarang. Sejak pulang tadi aku langsung masuk kamar dan meminta Ibu untuk
membuatkanku cokelat panas, siapa tahu bisa menenangkan pikiranku.
Laptop
yang ada di depanku hanya menyala tanpa kusenteh dari tadi. Peduli setan.
Menyentuh laptop lalu mengerjakan tugas presentasi untuk besok tidak akan
mengembalikan Justin kepadaku.
Tanganku
meraih secarik kertas dan tinta berwarna di meja belajar, lalu membawanya ke
balkon kamar, duduk di kursi bulat kemudian menyelonjorkan kaki di kursi yang
berhadapan denganku.
Pandangan
mataku terarah mengamati kamar Justin yang balkonnya terpasang jaring outbond untuk menghubungkan balkonnya
dengan balkonku. Biasanya aku akan langsung menghambur masuk ke dalam kamarnya
melalui pintu balkon yang tidak pernah terkunci itu, lalu beringsut naik ke
ranjangnya dan melompat di atasnya. Kemudian dia akan menggeram marah dan
berjalan kesal ke arahku untuk melayangkan gelitikan yang akan membuatku
terbahak.
Siluet
badannya yang kokoh dan tegap terlihat jelas dari sini. Baru selesai mandi. Ya,
jelas. Pukul empat merupakan waktunya untuk mandi. Dia bukan tipe pria malas
yang akan seharian penuh bergulat di kasur. Justin merupakan pria yang
memperhatikan penampilannya. Jadi misiku biasanya adalah membuat penampilannya
hancur. Bermain basket contohnya.
Siluet
itu bergerak menuju jendela yang terletak di sebelah pintu balkon, membuatku
sedikit menegang. Apakah dia akan membuka
pintu balkon dan menyapaku seperti biasanya? batinku berkata.
Meleset.
Justin hanya melihatku sekilas lalu dengan segera menutup hordeng yang
sebelumnya terbuka dan dikaitkan di kusen jendela.
“Justin…”
ujarku lirih. Sekuat apa pun aku berteriak, dia tidak akan mendengarku. Suaraku
seakan-seakan tenggelam di antara ribuan suara lainnya.
Aku
bergerak masuk meninggalkan kertas dan tinta berwarna di luar, tadinya aku
berniat akan membuat puisi dan menempelnya di mading, sengaja agar Justin
melihatnya dan kembali kepadaku. Setidaknya aku tidak harus memalukan diriku di
hadapannya secara terang-terangan dengan memberinya sebuah puisi yang malah
akan membuatnya menertawai diriku habis-habisan.
Tidak tidak. Bukankah
ditertawai karena tingkah bodohku olehnya memang sudah biasa? Tapi mengapa
sekarang semua malah terlihat samar dan terasa asing untukku?
Tanganku
mulai mengubak closet dan mencari di
mana jersey itu. Jersey Manchester United pemberian Justin. Aku mulai tersenyum
samar ketika menemukan jersey itu berada dalam tumpukan baju paling kanan, di
sisi sebelah kiri, dekat cermin yang akan menampilkan tubuhku seluruhnya
setelah berpakaian, di atas tumpukan wedges-ku
berada.
Justin
bahkan rela menyentuh jersey Manchester United ketika membelikannya untukku,
padahal aku tahu kalau dia sangat membenci klub bola yang satu itu.
Aku
ingat bagaimana dia mendengus kesal karena harus menerima kekalahan ketika klub
Barcelona kesayangannya itu dikalahkan oleh tim jagoanku di kandangnya sendiri.
Ketika itu aku dan dia bertaruh mempertaruhkan klub kebanggaan masing-masing,
dan sebagai hukuman untuk dia yang kalah, dia harus rela membelanjakan uangnya
dengan membelikan aku jersey original klub kesayanganku.
Aroma
jersey itu masih sama, aroma khas Justin.
Senyum
kecil kembali menghiasi bibirku. Bayangan di mana aku memaksa Justin mengenakan
jersey ini─ketika aku dan
dia menonton langsung pertandingan Manchester United VS Barcelona di kandang MU
di Inggris─mulai tergambar
jelas. Orang tuaku bahkan sangat mudah mengizinkanku pergi berdua saja ke
Inggris bersama Justin.
“Harus! Pokoknya
kau harus memakai jersey ini setibanya di sana. Aku tidak peduli jika kau
bertemu dengan teman-temanmu sesama penggemar Barcelona itu,” ujarku.
Justin
menghentakkan kakinya lalu mencubit pipiku keras. “Tidak akan. Kau kira
kegiatan seperti itu tidak membuatku malu? Enak saja. Mau dikata apa aku
nanti.”
“Ayolah, Justin,”
ucapku memohon. Aku mengeratkan kedua tanganku dan memasang tampang memelas
membuat Justin berdecak.
“Dasar egois. Aku
bahkan tidak pernah menyuruhmu memakai head band Barcelona ketika menonton bersama di kafe. Jangan memaksaku.”
Akhirnya aku
memasang puppy
face yang benar-benar jitu menarik
perhatian Justin. “Sial, kenapa memasang ekspresi begitu, kau tahu aku tidak
bisa melihatmu seperti itu!”
“Justiiin.” Aku
kembali memohon. Akhirnya Justin mengambil jersey yang sudah kuulurkan daritadi
di depannya. Dia melepas kaos hitam yang digunakannya lalu memakai jersey itu
di depan mataku, kemudian menyemprotkan parfumnya membuatku langsung memeluknya
senang.
Air
mata sialan itu malah kembali keluar bersamaan dengan pintu yang diketuk
seirama. Tanganku dengan sigap langsung menghapus air mata yang setia menetes
di pipiku dan keluar dari closet.
“Caitlin,
ada Selena di bawah.” Ketukan pintu berganti dengan suara Ibu yang berdengung
di telingaku. Apa katanya tadi, Selena?
“Siapa,
Bu?” tanyaku memastikan. Pasti aku salah dengar. Tidak mungkin dia
mengunjungiku dalam keadaan aku yang seperti ini. Perempuan kejam itu pasti akan
langsung tersenyum penuh kemenangan ketika melihatku yang sedang berantakan
sekarang.
“Selena,
kakak kelasmu dulu yang sering berkunjung bersama Justin.”
Aku
buru-buru mencuci muka dan mengoleskan bedak tepat di kantung mataku untuk
menutupi bengkak akibat terlalu lama menangis.
Benar.
Perempuan itu sedang duduk di sofa depan, terlihat mengobrol dengan Ibu dan
Christ. Oh tunggu, siapa di sebelahnya? Astaga, dia bahkan membawa Justin
berkunjung ketika aku sedang berusaha mati-matian untuk tidak memikirkannya.
Perempuan sialan.
Ketika
sedang menahan emosi mati-matian, suara yang tak mau kudengar untuk saat ini
justru menyapaku. Tangannya melambai, menyuruhku untuk menghampirinya.
“Oh,
hai,” balasku datar. Dengan langkah malas, aku berjalan pelan dan duduk di
sebelah Ibu, di depan Justin. Mata karamelnya terlihat mengamati wajahku lalu
dengan segera membuang muka ketika pandangan kami bertemu.
Selena
tersenyum memperlihatkan deretan giginya. Entah, hanya dia dan Tuhan yang tahu
ada makna apa di balik senyum lebarnya, aku tidak ingin berprasangka buruk
terhadapnya.
***
Demi
bumi dan isinya, hamba Tuhan yang satu itu ternyata benar-benar berubah
drastis. Bahkan aku baru sadar kalau rambutnya dipotong lebih pendek dan
menyisakan sedikit poni di dahinya.
Satu
yang kutahu tentangnya dari dulu: dia suka berpura-pura. Kemarin, ketika dia
bersama mantan pacarnya itu datang ke rumahku, sikapnya ternyata jauh lebih
baik dari apa yang aku pikirkan. Pertama kalinya seumur hidupku, dia tidak
berusaha membuat keributan di depanku.
Christ
sampai menyeretku ke halaman belakang untuk memastikan bahwa kondisi hati dan
batinku baik-baik saja. Ternyata bocah tengil yang satu itu tahu juga ketika
aku sedang membutuhkan pelukan hangatnya.
Sedetik
setelahnya, air mataku langsung tumpah ketika adik laki-lakiku merengkuhku
untuk bersandar di dada bidangnya. Aku baru tahu kalau ternyata berada di
pelukannya terasa sangat nyaman.
“Sudah. Kau akan baik-baik saja, sakitnya
tidak akan lama. Aku berjanji.” Begitu katanya. Tapi bukannya merasa lebih
tenang, hatiku malah makin menegang memikirkan kemungkinan-kemungkinan yang
akan terjadi beberapa hari mendatang.
Mungkin
aku akan menjadi orang pertama yang menutup kuping dan menangis histeris ketika
mendengar berita mengerikan itu. Hih, amit-amit, jangan sampai.
“Aku
akan menginap di rumah Justin untuk tiga hari ke depan. Kuharap kedatanganku
tidak mengganggumu atau pun Justin.” Mengganggu. Ya, tentu saja.
Adakah yang lebih menyakitkan
dibanding melihat pria yang beberapa hari lalu menyatakan perasaannya kepadamu,
lalu beberapa hari kemudian terlihat pula mantan kekasihnya yang akan bergelut
dalam satu atap?
Ternyata menjadi perempuan yang tegar
tidak semudah kelihatannya.
Ini sudah enam hari berlalu setelah
insiden dia yang memintaku menjadi kekasihnya. Harapanku untuk berbaikan dengannya
dalam waktu dekat ternyata tidak berjalan dengan lancar setelah kehadiran
Selena di rumah Justin.
Sehari setelah Selena berkunjung ke
rumahku, aku berniat menyelesaikan masalahku dengan Justin. Spaghetti
kesukaannya sudah berada tepat di genggaman tanganku. Aku buru-buru membuatnya
setelah pulang sekolah sampai lupa berganti seragam.
Tapi coba tebak apa yang kutemukan
ketika sampai di depan rumahnya?
Justin dan Selena sedang merangkai flower crown bersama. Lalu beberapa
detik setelahnya, Justin terlihat meletakkan benda itu di atas kepala Selena.
Sialan, kenapa aku malah jadi tidak gentar untuk menghampirinya?
Akhirnya aku putuskan untuk meletakkan
spaghetti spesial untuk Justin di meja yang ada di depan pintu rumahnya.
***
Pagi ini aku kembali datang ke sekolah
bersama Ayah, Justin masih terlihat sibuk bercanda berdua bersama Selana.
Sebagai sahabat yang baik, aku lebih merelakan dia untuk kembali ke pelukan
Selena dibanding harus memaksanya mendengarkan isi hatiku.
“Caitlin, Justin sedang menunggumu di
atap. Dia bilang, aku harus menyampaikan pesannya kepadamu dan menyuruhmu untuk
segera ke sana.” Laura dari kelas sebelah mendatangiku ketika aku baru saja
mengeluarkan novel remaja yang baru kubeli kemarin dari dalam tasku. Tadinya
aku berniat untuk membacanya sampai bel berbunyi karena tidak sempat kubaca
kemarin.
Dengan refleks, aku memiringkan
kepalaku, “Apa?”
“Justin menunggumu di atap, sekarang,”
ulangnya kemudian pergi meninggalkan kelasku.
Aku sempat terdiam sebentar. Justin ingin bertemu denganku?
Seketika, aku
langsung meletakkan novelku di atas meja dengan kasar, lalu bergegas melangkah
ke atap dengan langkah gusar.
Biasanya, Justin akan ke atap jika dia
sedang dilanda masalah, mungkinkah sekarang ia sedang dilanda masalah, lagi?
Setelah menaiki tangga berliuk di
lantai paling atas, aku dengan segera memutar knop pintu atap yang akan
langsung membuatku bertemu dengan pemandangan kota Atlanta.
Langkahku makin gusar ketika tidak
menemukan Justin di tempat biasa dia duduk dan memegangi rambutnya kalut.
Astaga, di mana sebenarnya dia?
“Kenapa lama sekali?” sungut seseorang
dari arah belakang. Sepontan, aku membalikkan badanku lalu berlari ke arahnya
dan memeluknya erat. Gila, aku hampir berpikir akan kehilangan dirinya.
“Kau pikir aku akan ke mana?” tanyanya
mengejek. Aku terkekeh pelan lalu meninju pelan lengannya dengan wajah yang
memerah. “Kenapa malah memilih pergi dan meninggalkannya begitu saja?”
Aku mengerutkan dahi, menimbulkan
beberapa lipatan di sana. Tangannya kini menggenggam erat tanganku, mengisi
setiap sela jemariku. Beberapa saat setelahnya, dia mengambil kotak makan yang
tak asing di mataku, kemudian menggoyangkannya di depan wajahku. “Ini. Kau
tahu, ini sangat lezat. Untung aku mengecek, kalau tidak, mungkin aku akan
memakannya dalam keadaan basi.”
“Sialan. Jangan menggodaku,” ucapku
sebal. Aku memilih untuk duduk di kursi terdekat demi menghindari tatapannya
yang bisa membuat wajahku bersemu merah.
Justin terdengar menghembuskan napas,
lalu ikut duduk di sebelahku. Sial, kenapa jantungku rasanya bertedak dua kali
lebih cepat dari frekuensi biasanya. “Jadi, setelah lima hari menghindar dan
tiba-tiba datang dengan tidak diundang ke rumahku sembari membawa spaghetti
lantas meletakkannya di meja depan pintu lantaran melihatku bersama Selena, apa
jawabanmu? Tidakkah itu dimasukkan dalam kategori… cemburu?”
Pipiku semakin bersemu merah mendengar
penuturannya. Semakin hebat saja efek yang diberikannya padaku. “Cemburu?
Astaga. Pemikiran darimana?”
Justin
terkekeh lalu mengacak rambutku. “Begitu, ya. Baguslah, berarti aku bisa
kembali kepada Selena,” ucapnya membuatku mengalihkan pandanganku kepadanya.
“Kecuali kalau kau menjawab ya.”
“Aku─”
“Tidak. Tidak perlu dijawab. Aku tahu
kau pasti akan berkata ya.”
Tanganku terkepal lalu memukul pahanya
pelan. Kepalaku kusandarkan di bahunya yang selama ini selalu menjadi
sandaranku setiap aku menangis. “Terlalu pede. Bagaimana jika jawabannya
tidak?”
Tidak.
Tentu saja jawabannya ya. Sebagian kecil hatiku masih meneriaki untuk tetap
berdiri pada tiang persahabatan, namun aku tahu, sebagian besar hatiku lainnya
juga berteriak mengatakan bahwa aku juga menginginkannya sebagaimana dia
menginginkanku untuk menjadi kekasihnya. []
a/n: