Thursday, December 31, 2015

S & S

smh

hi ya guys
2k16 starts today!

let's celebrate with.... something you would not regret in your life or so ever. ;)




or maybe here


so x3m i'm updating in the new year. hope you guys enjoy!



sneak peek:

Siera yang hangat, memabukkan, dan menjadi candu bagi Samuel punya kata ajaib untuk meredam amarah cowok itu;

"Abang ganteng hari ini."

Dan sebagai cowok normal, ketika dibilang ganteng sama cewek cantik itu hati langsung jadi sejuk.
   
S & S
Copyright © 2016 k-endall



so guys, what are you waiting for? ;)

Saturday, October 17, 2015

look what you've searching for

FOR EVERYONE who looking for my social media, you can talk to me whenever you want bc i dont mind. i like talkin' to whoever it is & can you help it when i'm talking trash shh WELL HELLO STRANGERS! :)

snapchat/line: msyfnm

((remember: i'd like to talk to you))


Saturday, May 16, 2015

Little Piece

Little Piece
Copyright © 2015 Musyafa Nisrina Muthi

“Ketika kau dipusingkan dengan pilihan yang tidak
akan datang dua kali seumur hidupmu.”


Starbucks, July 20th.
          “Would you be  mine?”
          Dug. Ini dia, kan? Bukanmaksudku, laki-laki seperti dia mungkin akan berpikir  sepuluh kali untuk menyatakan kata cinta untukku. Tidak berniat menolak, namun hati kecilku hanya disuguhkan oleh kata-kata yang membuatku ambigu.
          Terima dia atau kau akan kehilangan dirinya sebagai sahabat lelakimu.
          Kalau kondisinya sudah seperti ini, aku harus apa? Membicarakannya dengan baik-baik belum tentu bisa dikatagorikan sebagai penolakan secara halus. Menerimanya dengan berkata, ‘ya’ –pun akan terasa sulit. Masalahnya di sini yang terancam itu, persahabatan kami.
          “Caitlin?” panggilnya lagi cukup membuatku tersadar dan kembali ke dunia nyata. Dengan gerakan refleks aku mengangkat kepalaku dan menatapnya polos dengan ekspresi yang bahkan kuyakini akan membuatnya terbahak.
          “Ya?” sahutku setelahnya. Mungkin tidak ingin menghancurkan suasana, dia berusaha menahan tawanya sekarang. Lihat bagaimana keadaan berputar berbalik. Mungkin sebelum ini, tertawa mengejek bukanlah hal yang memalukan untuk kami.
          Justinpria yang kumaksudkembali menatapku teduh sampai akhirnya aku menyadari bahwa dia melakukan kode mata denganku, sehingga aku kembali duduk dengan tegap, kemudian menyandar ke bangku sofa kafe yang kami kunjungi. Satu minggu yang lalu, dengan tiba-tiba Justin melempar gumpalan kertas yang ternyata surat ke balkon kamarku, menyatakan bahwa dia ingin mengajakku duduk-duduk santai di kafe, mengingat pekan ulangan yang baru saja berakhir. Kalau ini yang dinamakan dengan ‘duduk-duduk santai’ aku bersumpah tidak akan pernah mau datang.
          “Bagaimana?” tanyanya lagi. Mungkin sekarang kulitku kembali memucat lantaran teringat dengan tawarannya beberapa menit yang lalu. Sungguh, kalau yang duduk di depanku sekarang adalah adik kelas dengan tampang tengil, atau pun laki-laki yang tidak aku suka, aku benar-benar akan langsung berkata ‘tidak’ dan tanpa pikir panjang meninggalkannya sendiri di sini.
          Biasanya, kalau memang itu terjadi, lalu laki-laki yang ternyata tidak terima dengan penolakanku dengan segera mendatangiku ke rumahmemohon kepadaku untuk menerimanya sebagai kekasihkuatau mungkin menerorku, pasti Justin yang akan langsung turun tangan. Namun kalau kenyataan berbalik, kepada siapa aku akan mengadu? Adikku yang sama tengilnya dengan adik-adik kelasku? Yang ada aku malah akan diseret ke rumah Justin untuk menemuinyakalau aku benar-benar menolaknya.
          Tapi bukan berarti juga aku menyukainya. Aku sayangnamun, bukan sayang yang seperti itu yang kumaksud. Aku menyayanginya sebagai sahabat. Bahkan tidak pernah terpikir olehku bahwa dia akan senekat ini memintaku menjadi kekasihnya.
          “Aku… tidak tahu,” gumamku pelan. Aku melirik Justin sekilas dan menemukan raut wajahnya yang memudarkan raut keceriaan dan ketegangan yang ditunjukkannya tadi.
          “Ya, baiklah, aku mengerti. Tidak perlu dijawab, anggap saja angin lalu.”
          Demi neptunus, aku tidak bermaksud menyakiti hatinya. Aku hanya… bimbang. “Bagaimana kalau memberikan waktu untukku?”
          Justin terlihat mengangkat sebelah alis tebalnya, sedang menimbang-nimbang kurasa. “Yamaksudku tidak. Tidak perlu dijawab. Aku mengerti bahwa kau tidak mungkin mempertaruhkan persahabatan kita, anggap saja angin la
          “Lantas melihatmu menjauh karena perasaan tidak enak hati? Tidak. Aku tidak akan pernah menganggap ucapanmu sebagai angin lalu. Kau tahu kalau aku… menyayangimu.”
          “Aku tidak akan menjauh.”
          “Tidak jamin.”
          Justin mendengus frustasi sambil mengacak rambut emasnya yang selalu dispike dengan tambahan gel itu. “Baik, waktu. Aku memberimu waktu untuk memikirkan semuanya. Dan selama proses itu berlangsung, jangan mencoba untuk menghidariku.”
          “Tidak janji.”
          “Cait, aku tidak bercanda,” geramnya.
          Aku terkekeh singkat lalu meminum greentea shake-ku yang sudah mulai mencair. “Aku juga tidak, Justin. Apa tampangku seperti sedang bercanda sekarang?” tanyaku sendiri sembari memasang raut wajah serius.
          Justin kembali mendesah frustasi dengan tangan yang terkepal gemas. “Kau tahu aku membenci itu. Jangan coba-coba.”
          Tawaku pun akhirnya pecah. Benar, aku hanya bercanda tadi. Mana mungkin aku akan tahan mendiami dan menghindarinya, sedangkan aku sudah terbiasa ngablak berdua bersamanya di mana saja. Cukup mustahil untuk kulakukan. “Ya. Tidak akan.”

***

          Ucapanku tiga hari yang lalu ternyata tidak bisa kubuktikan. Nyatanya yang kulakukan sekarang adalah menghindarinya. Menghindari kontak mata dan juga kontak fisik secara langsung. Bahkan untuk sekedar berjalan pada satu koridor sekolah yang sama saja aku tidak beranioh lebih parahnya, menatapnya balik saat ia menatapku saja aku lebih memilih memalingkan wajahku. Benar-benar pembual.
          Berani sumpah, kalau kalian yang berada pada posisiku saat ini, kuyakini kalian akan melakukan hal yang sama. Bertemu dengannya justru membuatku semakin ambigu.
          Sudah dua hari ini aku lebih memilih berangkat ke sekolah diantar supir atau mungkin bersama Ayah, dan menolak bergabung bersama Justin atau pun Christian, adikku. Berkumpul bersama teman-teman perempuan sepermainanku dan menghindar saat diajak bicara olehnya. Pulang pun aku akan langsung keluar kelas dan menelpon supir untuk segera menjemput, lalu setelahnya berpura-pura sibuk dengan membaur ke klub jurnalis sekolah untuk mengisi waktu selagi menunggu dijemput, dan ya, tentu saja untuk menghindari dia.
          “Kalian sedang kenapa?” tanya salah seorang sahabat perempuanku telak. Shanoon mengangkat alisnya tinggi lantas melipat kedua tangganya di depan dada.
          “Ya. Aku juga melihat kau seakan-akan menghindarinya dua hari ini. Kalian tidak sedang bertengkar, kan?” tuding Chandler. Memangnya sekentara itu, ya, aku menghindarinya? Mampus saja kalau ternyata Justin juga mengerti tingkahku sekarang.
          “Kalian yang dimaksud itu
          “Kau dan Justin,” lanjut keempat sahabatku sekaligus.
          “Kudengar Justin sempat menyatakan cinta beberapa hari yang lalu kepadamu. Benar begitu?” Astaga. Secepat inikah beritanya menyebar?
          “Aku masih ingat, terakhir kali kalian bertengkar, kau merajuk seharian penuh dan mendatangi kami saat jam pulang sekolah dengan mata berair karena tidak berhasil mendapatkan maaf Justin dalam kurun waktu dua puluh empat jam,” celetuk Chandler lagi. Sial, sekarang dia kembali mengungkit aibku.
          “Lagipula, siapa yang ingin memaafkanmu dalam waktu yang sesingkat itu? Kau tahu, kan, kau itu sangat menyebalkan kalau sudah adu mulut,” cecar Sheerin dengan mata tak teralihkan dari kukunya. Dia sedang mengecat biru kukunya.
“Aku berani bertaruh bahwa Justin sesungguhnya tidak tahan bersahabat denganmu. Memberimu sedikit pelajaran dengan mengacuhkanmu bukannya membuat emosimu mereda, justru malah makin memuncakkan emosimu.” Stop. Kate yang paling pendiam saja ikut berkomentar sedemikian kejamnya.
“Sudah?” ucap suara bariton yang membuat kami memalingkan perhatian kami sepenuhnya. Justin terlihat bersandar di tembok sebelah meja kami dengan kaki terangkat satu.
Aku langsung menempelkan wajahku di meja dengan tampang melas, berusaha bersembunyi dan menutup kemungkinan bertatap wajah dengan pria di hadapanku sekarang.
Tujuh detik berikutnya hanya terdengar suara siswa-siswi lain yang sedang berhilir mudik mencari meja dan tawa yang lainnya dengan teman seperkumpulan mereka, sampai akhirnya aku merasakan tanganku ditarik tangan hangat dan memaksaku untuk mengangkat wajahku. Sial, justru sekarang pergelangan tanganku sedang digenggam olehnya.
“Ikut aku,” ucapnya lagi memerintah.
Aku dengan pasrahnya berjalan tersaruk-saruk di belakangnya, berharap keempat sahabatku menahanku. Namun ternyata salah besar, begitu aku melihat ke belakang yang terlihat justru mereka yang melambai senang ke arahku. Akhirnya dengan benar-benar pasrah, aku kembali berjalan mengikuti Justin. Dia membawaku ke parkiran kemudian mengangkat pinggangku untuk didudukkan di kap mobil.
Aku mendengus menyadari diriku yang sekarang sejajar dengannya. Maklum, aku bahkan tidak lebih tinggi dari bahunya.
“Pembual,” gertaknya tajam membuatku tersentak.
Air mataku serasa ingin meluncur bebas saat ini juga. “Justin
“Pengecut.” Sekali lagi, aku bergetar hebat. “Kalau memang tidak bisa, tidak usah memaksa dengan membuat perjanjian lalu setelahnya mengingkari janjimu sendiri. Aku tidak suka. Aku tidak suka cara yang seperti ini.”
“Justin
“Jangan menyela, aku belum selesai.” Justin terlihat berapi-api. Sungguh, bahkan saat aku bertengkar hebat dengannya saja dia tidak pernah terlihat semengerikan ini. Ini sangat di luar kendali. “Sudah kukatakan untuk tidak menghindar. Kenapa masih menghindar? Sudah tidak paham bahasa manusia?” lanjutnya emosi.
Aku semakin menundukkan kepalaku dan sedetik setelahnya merasakan mataku benar-benar panas lantas mengeluarkan bulir yang sedari tadi berusaha kutahan. “Kau membuatku takut,” ucapku benar-benar takut.
Justin meninju kap mobilnya tepat di sebelah aku duduk, membuatku sedikit terlonjak kaget. “Persetan. Kau bahkan mengingkari janji yang kau buat sendiri.”
Aku menatapnya sedih dengan air mata yang kembali mengalir. Mata coklat madunya tidak lagi membuatku tenang dan merasa nyaman, namun sebaliknya, membuatku takut dan ingin segera pergi menjauh darinya. “Aku tidak bermaksud,” ucapku terisak. Aku tidak tahu kalau akan sesakit ini ketika digertaknya.
“Jangan menangis. Aku benci melihatmu menangis.”
“Maafkan aku. Sungguh, aku benar-benar tidak bermaksud,” lirihku sembari berusaha meraih tangannya. Di luar perkiraan, dia justru menyentak tanganku kasar seolah tidak peduli dengan emosiku sekarang.
“Aku tidak pernah takut dengan penolakan, kalau itu yang kau pikirkan. Aku bahkan tidak takut reputasiku hancur kalau-kalau tersebar berita seorang Justin Bieber ditolak oleh sahabat sendiri. Aku tidak takut. Justru aku merasa terhormat kalau memang kau menolakku karena takut persahabatan ini hancur.”
Tanganku bergerak mengelap air mata yang masih belum mau berhenti menetes. “Aku tahu aku salah. Aku memang pembual, pengecut. Mengibarkan bendera putih sebelum pertempuran dimulai. Menyakitimu dengan menghindar, mengira semuanya justru akan pulih dan kembali seperti biasa. Namun semua yang kulakukan memang selalu membawa petaka. Aku tidak benar-benar bisa memahami diriku sendiri. Lebih baik aku menjauh.”
Lututku rasanya sangat lemah ketika aku kembali memijakkan kakiku di aspal. Aku terdiam sebentar lantas menghembuskan napas dan bersiap melangkah maju meninggalkan Justin.
Tahan aku, tahan.
Langkahku kian menjauh dan menyadari bahwa Justin hanya menatapku dalam diam, tidak berniat menahanku dan menarikku ke dalam pelukannya yang hangat.

***

Bantal, selimut, secangkir cokelat panas dan lagu sendu yang menemaniku di atas ranjang sekarang. Sejak pulang tadi aku langsung masuk kamar dan meminta Ibu untuk membuatkanku cokelat panas, siapa tahu bisa menenangkan pikiranku.
Laptop yang ada di depanku hanya menyala tanpa kusenteh dari tadi. Peduli setan. Menyentuh laptop lalu mengerjakan tugas presentasi untuk besok tidak akan mengembalikan Justin kepadaku.
Tanganku meraih secarik kertas dan tinta berwarna di meja belajar, lalu membawanya ke balkon kamar, duduk di kursi bulat kemudian menyelonjorkan kaki di kursi yang berhadapan denganku.
Pandangan mataku terarah mengamati kamar Justin yang balkonnya terpasang jaring outbond untuk menghubungkan balkonnya dengan balkonku. Biasanya aku akan langsung menghambur masuk ke dalam kamarnya melalui pintu balkon yang tidak pernah terkunci itu, lalu beringsut naik ke ranjangnya dan melompat di atasnya. Kemudian dia akan menggeram marah dan berjalan kesal ke arahku untuk melayangkan gelitikan yang akan membuatku terbahak.
Siluet badannya yang kokoh dan tegap terlihat jelas dari sini. Baru selesai mandi. Ya, jelas. Pukul empat merupakan waktunya untuk mandi. Dia bukan tipe pria malas yang akan seharian penuh bergulat di kasur. Justin merupakan pria yang memperhatikan penampilannya. Jadi misiku biasanya adalah membuat penampilannya hancur. Bermain basket contohnya.
Siluet itu bergerak menuju jendela yang terletak di sebelah pintu balkon, membuatku sedikit menegang. Apakah dia akan membuka pintu balkon dan menyapaku seperti biasanya? batinku berkata.
Meleset. Justin hanya melihatku sekilas lalu dengan segera menutup hordeng yang sebelumnya terbuka dan dikaitkan di kusen jendela.
“Justin…” ujarku lirih. Sekuat apa pun aku berteriak, dia tidak akan mendengarku. Suaraku seakan-seakan tenggelam di antara ribuan suara lainnya.
Aku bergerak masuk meninggalkan kertas dan tinta berwarna di luar, tadinya aku berniat akan membuat puisi dan menempelnya di mading, sengaja agar Justin melihatnya dan kembali kepadaku. Setidaknya aku tidak harus memalukan diriku di hadapannya secara terang-terangan dengan memberinya sebuah puisi yang malah akan membuatnya menertawai diriku habis-habisan.
Tidak tidak. Bukankah ditertawai karena tingkah bodohku olehnya memang sudah biasa? Tapi mengapa sekarang semua malah terlihat samar dan terasa asing untukku?
Tanganku mulai mengubak closet dan mencari di mana jersey itu. Jersey Manchester United pemberian Justin. Aku mulai tersenyum samar ketika menemukan jersey itu berada dalam tumpukan baju paling kanan, di sisi sebelah kiri, dekat cermin yang akan menampilkan tubuhku seluruhnya setelah berpakaian, di atas tumpukan wedges-ku berada.
Justin bahkan rela menyentuh jersey Manchester United ketika membelikannya untukku, padahal aku tahu kalau dia sangat membenci klub bola yang satu itu.
Aku ingat bagaimana dia mendengus kesal karena harus menerima kekalahan ketika klub Barcelona kesayangannya itu dikalahkan oleh tim jagoanku di kandangnya sendiri. Ketika itu aku dan dia bertaruh mempertaruhkan klub kebanggaan masing-masing, dan sebagai hukuman untuk dia yang kalah, dia harus rela membelanjakan uangnya dengan membelikan aku jersey original klub kesayanganku.
Aroma jersey itu masih sama, aroma khas Justin.
Senyum kecil kembali menghiasi bibirku. Bayangan di mana aku memaksa Justin mengenakan jersey iniketika aku dan dia menonton langsung pertandingan Manchester United VS Barcelona di kandang MU di Inggrismulai tergambar jelas. Orang tuaku bahkan sangat mudah mengizinkanku pergi berdua saja ke Inggris bersama Justin.
“Harus! Pokoknya kau harus memakai jersey ini setibanya di sana. Aku tidak peduli jika kau bertemu dengan teman-temanmu sesama penggemar Barcelona itu,” ujarku.
Justin menghentakkan kakinya lalu mencubit pipiku keras. “Tidak akan. Kau kira kegiatan seperti itu tidak membuatku malu? Enak saja. Mau dikata apa aku nanti.”
“Ayolah, Justin,” ucapku memohon. Aku mengeratkan kedua tanganku dan memasang tampang memelas membuat Justin berdecak.
“Dasar egois. Aku bahkan tidak pernah menyuruhmu memakai head band Barcelona ketika menonton bersama di kafe. Jangan memaksaku.”
Akhirnya aku memasang puppy face yang benar-benar jitu menarik perhatian Justin. “Sial, kenapa memasang ekspresi begitu, kau tahu aku tidak bisa melihatmu seperti itu!”
“Justiiin.” Aku kembali memohon. Akhirnya Justin mengambil jersey yang sudah kuulurkan daritadi di depannya. Dia melepas kaos hitam yang digunakannya lalu memakai jersey itu di depan mataku, kemudian menyemprotkan parfumnya membuatku langsung memeluknya senang.
Air mata sialan itu malah kembali keluar bersamaan dengan pintu yang diketuk seirama. Tanganku dengan sigap langsung menghapus air mata yang setia menetes di pipiku dan keluar dari closet.
“Caitlin, ada Selena di bawah.” Ketukan pintu berganti dengan suara Ibu yang berdengung di telingaku. Apa katanya tadi, Selena?
“Siapa, Bu?” tanyaku memastikan. Pasti aku salah dengar. Tidak mungkin dia mengunjungiku dalam keadaan aku yang seperti ini. Perempuan kejam itu pasti akan langsung tersenyum penuh kemenangan ketika melihatku yang sedang berantakan sekarang.
“Selena, kakak kelasmu dulu yang sering berkunjung bersama Justin.”
Aku buru-buru mencuci muka dan mengoleskan bedak tepat di kantung mataku untuk menutupi bengkak akibat terlalu lama menangis.
Benar. Perempuan itu sedang duduk di sofa depan, terlihat mengobrol dengan Ibu dan Christ. Oh tunggu, siapa di sebelahnya? Astaga, dia bahkan membawa Justin berkunjung ketika aku sedang berusaha mati-matian untuk tidak memikirkannya. Perempuan sialan.
Ketika sedang menahan emosi mati-matian, suara yang tak mau kudengar untuk saat ini justru menyapaku. Tangannya melambai, menyuruhku untuk menghampirinya.
“Oh, hai,” balasku datar. Dengan langkah malas, aku berjalan pelan dan duduk di sebelah Ibu, di depan Justin. Mata karamelnya terlihat mengamati wajahku lalu dengan segera membuang muka ketika pandangan kami bertemu.
Selena tersenyum memperlihatkan deretan giginya. Entah, hanya dia dan Tuhan yang tahu ada makna apa di balik senyum lebarnya, aku tidak ingin berprasangka buruk terhadapnya.

***

Demi bumi dan isinya, hamba Tuhan yang satu itu ternyata benar-benar berubah drastis. Bahkan aku baru sadar kalau rambutnya dipotong lebih pendek dan menyisakan sedikit poni di dahinya.
Satu yang kutahu tentangnya dari dulu: dia suka berpura-pura. Kemarin, ketika dia bersama mantan pacarnya itu datang ke rumahku, sikapnya ternyata jauh lebih baik dari apa yang aku pikirkan. Pertama kalinya seumur hidupku, dia tidak berusaha membuat keributan di depanku.
Christ sampai menyeretku ke halaman belakang untuk memastikan bahwa kondisi hati dan batinku baik-baik saja. Ternyata bocah tengil yang satu itu tahu juga ketika aku sedang membutuhkan pelukan hangatnya.
Sedetik setelahnya, air mataku langsung tumpah ketika adik laki-lakiku merengkuhku untuk bersandar di dada bidangnya. Aku baru tahu kalau ternyata berada di pelukannya terasa sangat nyaman.
Sudah. Kau akan baik-baik saja, sakitnya tidak akan lama. Aku berjanji.” Begitu katanya. Tapi bukannya merasa lebih tenang, hatiku malah makin menegang memikirkan kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi beberapa hari mendatang.
Mungkin aku akan menjadi orang pertama yang menutup kuping dan menangis histeris ketika mendengar berita mengerikan itu. Hih, amit-amit, jangan sampai.
          “Aku akan menginap di rumah Justin untuk tiga hari ke depan. Kuharap kedatanganku tidak mengganggumu atau pun Justin.” Mengganggu. Ya, tentu saja.
          Adakah yang lebih menyakitkan dibanding melihat pria yang beberapa hari lalu menyatakan perasaannya kepadamu, lalu beberapa hari kemudian terlihat pula mantan kekasihnya yang akan bergelut dalam satu atap?
         
***

          Ternyata menjadi perempuan yang tegar tidak semudah kelihatannya.
          Ini sudah enam hari berlalu setelah insiden dia yang memintaku menjadi kekasihnya. Harapanku untuk berbaikan dengannya dalam waktu dekat ternyata tidak berjalan dengan lancar setelah kehadiran Selena di rumah Justin.
          Sehari setelah Selena berkunjung ke rumahku, aku berniat menyelesaikan masalahku dengan Justin. Spaghetti kesukaannya sudah berada tepat di genggaman tanganku. Aku buru-buru membuatnya setelah pulang sekolah sampai lupa berganti seragam.
          Tapi coba tebak apa yang kutemukan ketika sampai di depan rumahnya?
          Justin dan Selena sedang merangkai flower crown bersama. Lalu beberapa detik setelahnya, Justin terlihat meletakkan benda itu di atas kepala Selena. Sialan, kenapa aku malah jadi tidak gentar untuk menghampirinya?
          Akhirnya aku putuskan untuk meletakkan spaghetti spesial untuk Justin di meja yang ada di depan pintu rumahnya.

***

          Pagi ini aku kembali datang ke sekolah bersama Ayah, Justin masih terlihat sibuk bercanda berdua bersama Selana. Sebagai sahabat yang baik, aku lebih merelakan dia untuk kembali ke pelukan Selena dibanding harus memaksanya mendengarkan isi hatiku.
          “Caitlin, Justin sedang menunggumu di atap. Dia bilang, aku harus menyampaikan pesannya kepadamu dan menyuruhmu untuk segera ke sana.” Laura dari kelas sebelah mendatangiku ketika aku baru saja mengeluarkan novel remaja yang baru kubeli kemarin dari dalam tasku. Tadinya aku berniat untuk membacanya sampai bel berbunyi karena tidak sempat kubaca kemarin.
          Dengan refleks, aku memiringkan kepalaku, “Apa?”
          “Justin menunggumu di atap, sekarang,” ulangnya kemudian pergi meninggalkan kelasku.
          Aku sempat terdiam sebentar. Justin ingin bertemu denganku?
          Seketika, aku langsung meletakkan novelku di atas meja dengan kasar, lalu bergegas melangkah ke atap dengan langkah gusar.
          Biasanya, Justin akan ke atap jika dia sedang dilanda masalah, mungkinkah sekarang ia sedang dilanda masalah, lagi?
          Setelah menaiki tangga berliuk di lantai paling atas, aku dengan segera memutar knop pintu atap yang akan langsung membuatku bertemu dengan pemandangan kota Atlanta.
          Langkahku makin gusar ketika tidak menemukan Justin di tempat biasa dia duduk dan memegangi rambutnya kalut. Astaga, di mana sebenarnya dia?
          “Kenapa lama sekali?” sungut seseorang dari arah belakang. Sepontan, aku membalikkan badanku lalu berlari ke arahnya dan memeluknya erat. Gila, aku hampir berpikir akan kehilangan dirinya.
          “Kau pikir aku akan ke mana?” tanyanya mengejek. Aku terkekeh pelan lalu meninju pelan lengannya dengan wajah yang memerah. “Kenapa malah memilih pergi dan meninggalkannya begitu saja?”
          Aku mengerutkan dahi, menimbulkan beberapa lipatan di sana. Tangannya kini menggenggam erat tanganku, mengisi setiap sela jemariku. Beberapa saat setelahnya, dia mengambil kotak makan yang tak asing di mataku, kemudian menggoyangkannya di depan wajahku. “Ini. Kau tahu, ini sangat lezat. Untung aku mengecek, kalau tidak, mungkin aku akan memakannya dalam keadaan basi.”
          “Sialan. Jangan menggodaku,” ucapku sebal. Aku memilih untuk duduk di kursi terdekat demi menghindari tatapannya yang bisa membuat wajahku bersemu merah.
          Justin terdengar menghembuskan napas, lalu ikut duduk di sebelahku. Sial, kenapa jantungku rasanya bertedak dua kali lebih cepat dari frekuensi biasanya. “Jadi, setelah lima hari menghindar dan tiba-tiba datang dengan tidak diundang ke rumahku sembari membawa spaghetti lantas meletakkannya di meja depan pintu lantaran melihatku bersama Selena, apa jawabanmu? Tidakkah itu dimasukkan dalam kategori… cemburu?”
          Pipiku semakin bersemu merah mendengar penuturannya. Semakin hebat saja efek yang diberikannya padaku. “Cemburu? Astaga. Pemikiran darimana?”
Justin terkekeh lalu mengacak rambutku. “Begitu, ya. Baguslah, berarti aku bisa kembali kepada Selena,” ucapnya membuatku mengalihkan pandanganku kepadanya. “Kecuali kalau kau menjawab ya.”
“Aku
          “Tidak. Tidak perlu dijawab. Aku tahu kau pasti akan berkata ya.”
          Tanganku terkepal lalu memukul pahanya pelan. Kepalaku kusandarkan di bahunya yang selama ini selalu menjadi sandaranku setiap aku menangis. “Terlalu pede. Bagaimana jika jawabannya tidak?”

          Tidak. Tentu saja jawabannya ya. Sebagian kecil hatiku masih meneriaki untuk tetap berdiri pada tiang persahabatan, namun aku tahu, sebagian besar hatiku lainnya juga berteriak mengatakan bahwa aku juga menginginkannya sebagaimana dia menginginkanku untuk menjadi kekasihnya. []


a/n:
check this out: Musyafa Nisrina

hi or hey?

let’s saying, hi or hey.
i ain’t new here. i’m seeing you guys again with new theme and i’ll posting (mostly) fanfiction & stuff.

enjoy with what i’d like to share to you.